Akhir Juli 2018, embun pagi yang biasa menyapa Pulau
Lombok sirna begitu saja. Surya terbit di hulu laut hijau biru jernih menjadi
saksi sejarah. Dunia seketika diisi oleh teriakan histeris. Berbagai jenis suara merasuk di telinga, katanya;
gempa! gempa! Manusia yang biasanya terikat rutinitas hidup ikut terperanjak
mengalami guncangan alam di pulau ini. Dikiranya ini vertigo saja. Jadi dunia
berputar, tanah retak, alam berguncang sekiranya khayalan saja. Ternyata tidak!
Tak lama seluruh stasiun Tv menyiarkan ratusan jasad yang tertimbun, isak
tangis karena kehilangan ribu jiwa dan ratusan ribu bangunan yang katanya
disayangkan runtuh begitu saja setelah dibangun dengan susah payah oleh
keringat dan materi. Kemudian seolah rindu yang tak berujung, awal Agustus,
Lombok terguncang lagi. Tak seperti sebelumnya, apalagi yang ingin ia hancurkan
setelah semua hanya tinggal puing.
Akhir September, laut menggulung
seisi kota Palu Donggala yang dilaluinya. Ombak keras itu menghantam dan
menghancurkan mobil mewah, pusat hiburan dan perbelanjaan, bahkan gempa membagi
dua dataran. Pesta yang digelar
dipesisir pantai seperti makanan empuk yang dihempas tsunami begitu saja. 2
ribu jiwa terenggut, 4 ribu terluka, dan kota terpukul rata bahkan bergeser
dari titik awalnya.
Akhir Oktober, awalnya kondisi
penerbangan naik turun. Doa-doa pada Sang Pencipta terdengar sangat kuat dari
dalam besi terbang. Penuh pengharapan dalam ketakutan mendalam. Ratusan manusia
sempat mengudara selama 13 menit lalu akhirnya kabar yang tersiar menusuk hati,
mengetahui pesawat menghantam perairan Tanjung Karawang. Entah mengapa seolah
membenarkan sesuatu yang terbang tinggi memang harus pergi dengan caranya.
Akhir tahun, 8 hari menuju
pergantian tahun. Desember kala itu Selat Sunda ikut menghantam Lampung. Jika
saja ini fantasi, manusia mungkin sudah mengutuk kerajaan Atlantis atau mulai
mencari-cari rumah Aquaman atau
bahkan menemukan Ratu Mera agar mengendalikan sang tuan Tsunami. Kenyataanya tsunami
benar terjadi bakal dari anak Krakatau. Siapa pula penghuni Krakatau? Avatar
sang penguasa api?
Entah bagaimana manusia mengaitkan
dengan takhayul, yang jelas alam punya cerita sendiri. Januari hingga Juni cukup
menggetarkan Jawa, Sulawesi, Sumatera dengan banjir serta longsor. Akhir dari
segalanya kita pun mengerti semua hal fana.
Di awal langkah 2019, manusia
sedang merenung. Disatu atap sedang merenung resolusi, disatu pondok sedang
merenung nasib pengungsi, disatu tempat sedang merenung kehilangan-kehilangan,
disatu hati sedang merenung kejadian-kejadian 2018. Satu yang sama, hari esok
tetap akan hadir dan harapan terus ada.
Dunia bukannya sedang sibuk dengan
urusannya sendiri, hanya perlu dibuat peka saja. Bagi anak muda, media sosial
bukanlah dewa yang patut disembah hingga lupa diri, lupa waktu, dan lupa
keberadaan. Bagi anak yang bertumbuh, orang tua adalah orang pertama yang
berkorban demi menyukseskan hidupmu, jadi berhenti melukai hati dengan sikap
arogan. Bagi jiwa tua, berhenti berlaku paling benar karena mendengar juga
termasuk kebijaksanaan.
Jadi akhir dari segalanya, salam
dari kami sang pejuang bencana yang ternyata dibuat lebih cepat menyadari,
bahwa kehidupan itu terkadang terjadi tak sesuai yang manusia inginkan. Hingga suatu
kali bencana dahsyat itu meruntuhkan segala pertahanan manusia yang terbangun
untuk kembali menggantungkan diri pada Sang Pemilik kehidupan. – Selamat Tahun
Baru, 2019.