Ini
tahun ketiga aku berada disini. Akhirnya tiba juga bulan yang kunanti-nanti.
Walau terasing dari hiruk-pikuk kota aku masih merasakan pujian-pujian hari
natal masih menggema di telingaku. Tidak bisa kulihat, tetapi cahaya pohon
natal di sudut ruangan seolah menembus kelopak mataku. Masih kurasakan kilauan
itu. Tidak mampu kuhadiri perayaan natal seperti anak-anak sekolah minggu yang
lain, tetapi hatiku tetap merasakan bagaimana limpahan sukacitanya. Ada satu
yang paling penting. Tidak kudengar, tidak kulihat, dan tidak kurasakan
kehadiran ayah di sampingku, tetapi bersyukur ia masih mengingatku. Walau
sebenarnya aku tidak yakin, sebab sudah
dua tahun opa saja yang mengatakan kalimat berharga itu di telingaku.
Di
ruang perawatan anak sebuah rumah sakit di pusat kota, aku menceritakan ini
semua. Tepat di malam natal saat mesin rumah sakit masih setia berada di
hidungku, di mulutku, di dadaku, dimana lagi? Itu yang kusadari. Coba tanyakan
opa lebih jelasnya, sebab ia yang terus menjagaku.
Jika
masih bersekolah aku pasti sudah di kelas 1 SMP. Natal yang kurindukan adalah
kado. Kado dari Papa Yesus yang dititipkan ke Santa Claus dan disodorkan
kepadaku. Hanya saja sejak terbaring bertahun-tahun santa claus tampak selalu
datang dengan tangan kosong. Tahun lalu aku melihat ibu datang bersama malaikat
hanya saja mulutku sudah tak mampu menceritakannya pada ayah.
Kau
ingin tahu apa saja permintaanku? Empat tahun lalu aku meminta ayah
mengeluarkanku dari rumah sakit. Tahun kedua aku meminta ayah menghapus kanker
darah yang aku rasakan. Tahun ketiga aku meminta ayah datang. Tahun ini…
sebenarnya aku takut mengatakannya.
Mulai
dari awal Desember saat mataku masih sanggup terbuka aku mengisyaratkan opa
untuk memutarkan musik natal dari handphonenya. Sampai di malam natal ini aku
masih menikmatinya. Aku merasakan tangan opa membelai rambutku. Bercerita bak
guru sekolah minggu yang menceritakan tentang bayi, kandang domba, gembala,
bintang, Maria, Yusuf, dan segala macam halnya. Walau dalam kondisi koma, opa
tetap memperlakukanku seperti cucunya yang sehat, baik, dan tak bercacat. Namun
semakin berjalan cerita air mataku menetes. Kurasakan air itu membasahi kedua
sudut mataku hingga berjalan sampai kelopak telingaku.
“Adriel…
kenapa menangis nak?” Kudengar opa tersentak disisi kananku. Aku hanya
berbaring diam namun tak mampu menahan air mata. Aku hanya ingin keluarga
disisiku di malam natal ini. Mengapa dokter dan suster yang lebih menyayangiku
dibanding ayahku? Aku merindukan ayah.
Kudengar
suasana riuh di sekitarku. Kurasakan monitor berdetak bak alarm weker. Opa
kudengar memanggil-manggil dokter dan suster. Jantungku yang kurasakan melemah
sedang ditekan kuat dari atas dadaku. Seluruh badanku yang dulunya kesakitan
kini telah mati rasa.
“BVM,
suntik…” dan apapun itu yang mereka teriakkan aku tak mengerti. Yang aku sadari
sekarang apakah kado natal yang kuminta sedang terkabul?
“Aku meminta Tuhan membawaku pergi, itu saja
permintaanku di hari natal”
***
Aku
berdiri di sebelah ranjangku. Aku melihat dadaku masih ditekan-tekan oleh
dokter, kemudian diberikan masker oksigen oleh suster. Opa kulihat sedang
menangis di samping pohon natal. Aku keluar sebentar dan melihat suster sedang
menelpon. Aku mendekat dan mendengar suara ayahku dari balik telepon. Aku
berhenti setelah menyadari semuanya.
“Selamat natal ayah, malaikat kecilmu sudah
bahagia. Semua kado natalku selama empat
tahun di rumah sakit sudah terkabul. Hati-hati di jalan, semoga tiba disini
dengan selamat. Bawa aku dengan aman dan tidurkan petiku di samping ibu. Aku
menyayangimu, ayah.”