“It is not our differences
that divide us. It is our inability to recognize, accept, and celebrate those
differences.” - Audre Lorde
http://repressoclass.blogspot.co.id/
Tentang waktu yang terus berputar, adakah hal yang tidak akan pernah
berubah? Atau adakah sesuatu yang akan tetap sama walau berabad-abad telah
sirna? Sejak awal semua memang diciptakan untuk melalui sebuah metamorfosa.
Namun yang menjadi pertanyaan dapatkah setiap perbedaan yang lahir akan terus
ditolerir oleh semua pihak? Apakah toleransi pada akhirnya akan berubah wujud
pula? Apakah ini tentang masa yang terus berubah, atau zaman yang terus berganti,
atau generasi yang lahir semakin berbeda dari sebelumnya? Di satu sisi ada yang
mengatakan perbedaan itu hanya tinggal digandengkan, seperti air dan minyak
walau tidak dapat disatukan tetapi dapat hidup berdampingan. Atau tentang bunga
mawar, kembang sepatu, asoka, dan melati. Meskipun berkulit berbeda, namun
diatur sangat indah untuk membuat taman semakin bermilai. Disisi lain ada yang
berpikir perbedaan hanyalah bayangan yang hanya perlu dilewati untuk menembus
suatu kenyataan bahwa kesamaan adalah yang terutama. Ada yang menegur karena
seseorang melanggar batasan, lalu kemudian menilai dan menghakimi diluar dari
batas eksistensinya.
“The parts of me that used
to think I was different or smarter or whatever, almost made me die.” - David Foster
Wallace
Jika sebuah nilai yang mencetak citra kesempurnaan mempengaruhi semua
ini, dapatkah citra itu dihapuskan saja? Atau coba dikaburkan agar
ketidaksempurnaan menjadi sesuatu hal yang membuat kepala tertunduk lagi dan
mengatakan semua ini tentang kesalahan yang
patut untuk diperbaiki. Bukan untuk dimenangkan atau dibesar-besarkan
agar sebuah konflik baru tentang ‘kebencian’ antar gelombang yang lebih besar
terkuak lagi. Apakah perbedaan sebegitu sensitif untuk diperbincangkan sehingga
kita harus diam saja dan menikmati jenuhnya keseragaman yang coba dibangun
dalam kepalsuan.
http://www.suarakita.org/
Kita sudah terbiasa hidup saling berdampingan. Melontarkan senyum,
menghargai setiap kepercayaan yang hadir ditengah-tengah bangsa. Tidak ada yang
terbersit untuk mencoba menjatuhkan ataupun menjelekkan. Kita berbagi dan
bahkan bergaul dalam lingkungan yang berbeda-beda. Sampai kemudian sebuah isu
negara merubah segalanya. Yang perlu dipertanyakan apakah ini akhir dari
toleransi yang sudah terbangun? Atau malah ada bangunan toleransi baru yang
coba dibangun untuk menyatakan kehidupan dalam keberagaman masih ada.
Kalau matahari dan bulan masih nampak sehat walau kehadirannya sangat
berbeda, mengapa kita yang hidup perjengkal tampak sulit? Apakah ini hanya
tentang doktrin penerimaan satu sama lainnya, atau lebih dari itu logika
menjadi raja atas segala tindakan. Ada yang benar-benar mengerti sampai memilih
diam. Ada pula yang sungguh memahami hingga mencoba meluruskan. Dan sayangnya
ada yang tak paham lalu memprovokasi dengan cara yang dianggap benar untuk
pembelaan.
Saat dunia sedang sibuk membelokkan rumus demi menemukan suatu keajaiban
ilmiah baru, kita malah sibuk membelokkan isu demi pembelaan-pembelaan terhadap
kebaikan yang dipaksa sama untuk semua orang. Entah untuk popularitas,
kelarisan, pengalihan, atau mungkin sesuatu yang dianggap pembuktian. Dan
ternyata pembuktian untuk suatu kebenaran hanya terjadi pada masa-masa
tertentu. Padahal kehidupan itu berjalan perdetik.
Hal ini bukan tentang kepercayaan apa dan bagaimana ajarannya. Coba buka
mata dan lihat apa yang terjadi. Antara kasih dan rasis. Antara kesalahan
penggunaan bahasa dan penggunaan barang berbahaya. Antara kehancuran harga diri
dan kehancuran diri. Perbedaan yang coba dibangun dari satu sudut pandang saja
tidak akan menemui ujung. Segala persepsi yang muncul hanyalah sebatas persepsi
dan ‘syukur-sukur’ jika tidak menimbulkan masalah baru.
http://lama.elsam.or.id/
Adakah perbedaan yang dapat disamakan? Bahkan kesimpulan dalam diskusi
kecil di kelas hanya dapat ditutup jika ada kelapangan dada untuk menerima
ujungnya. Akhir dari semua, ternyata bukan perbedaan yang memisahkan. Bukan
perbedaan yang membuat masalah. Hanya saja diri kita yang belum siap untuk
hidup di antara perbedaan. Satu-satunya jalan hanyalah melapangkan dada.
Satu-satunya yang perlu kita ketahui, ada satu kekuatan besar yang memiliki bumi,
berkehendak atas dunia, dan memiliki semua yang ada dalamnya. Kehebatan yang
kali ini mungkin terlupakan oleh karena hasrat untuk memenangkan sesuatu demi
mendapat balasan setimpal untuk sesuatu yang dikatakan ‘pengorbanan’ dalam
ukuran manusia.
Kita semua bersaudara, bahkan tersenyum dan mengimani bahwa dunia indah
dengan keberagaman yang dihargai!
Selamat Hari Toleransi! – 16 November 2016