Malam seperti biasa menyelimuti riuh isi kota. Awan gelap membungkus
langit dengan tebal. Sudah berkali-kali ditusuk angin malam, tetapi rusukku masih
terasa ngilu. Hanya saja, meringkuk di bawah selimut bukanlah takdirku. Apalagi
menikmati secangkir teh hangat buatan ibu. Apakah mungkin keistimewaan itu akan
terjadi di suatu hari nanti? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Seperti malam-malam kemarin, sisi jalan selalu saja ramai. Seolah tidak
memberiku ruang untuk menjajakan suara dengan ukuleleku yang usang. Ada yang
berdiri menjajakan makanan dan minuman. Sementara seorang bapak tua bertopi itu
sudah bersiap mengojek payung. Pemuda di sebelahnya tiap malam bermain sambil
menjual mainan plastik. Bahkan ada ibu-ibu yang memegang kemoceng dan siap
menyapu-nyapu kaca depan mobil jika lampu merah muncul. Tidak ketinggalan
sebangsaku memilih menjual tissue dan juga berkerja sepertiku.
Untung saja tubuh berukuran kecil membantuku melenggang ke celah manapun
yang kumau. Apa peduli dengan rambutku yang berantakan ataupun debu kakiku yang
mungkin menghinggap pada pakaian orang lain yang kulewati. Jejak-jejak debu itu
toh akan tersapu dengan sendirinya. Jika mungkin melekat seperti di wajahku,
hujan akan bekerja keras melunturkannya.
Malam ini mendung. Bagaimanapun itu,
aku tetap merindukan bintang, tempatku menggantungkan mimpi yang kurasa terlalu
tinggi. Sesekali ia bersembunyi, kemudian muncul, dan menghilang. Bintang
seperti itu. Aku memandang dan menginginkannya setiap malam namun tidak pernah
bisa kupeluk.
“Bintang di langit, namanya bintang
langit. Kalau jatuh ke laut ya bintang laut…” Genjrengan empat senar di
antara jemariku setidaknya menggerakkan beberapa tangan menyimpan koin ke dalam
kantung bekas permenku. Bahagia…Iya! Terlebih jika aku hinggap di salah satu
angkot yang isinya penuh. Penuh
penumpang yang sangat sibuk dengan hanphonenya yang rerata berukuran besar. Penuh
kantongan transparan yang bergambar donat. Penuh bungkusan yang beraroma sedap.
Sesekali aku bertanya mengapa sang pencipta menciptakan malam yang sangat
berbeda di antara para manusia. Tetapi naluriku pasti akan menjawab, “tanpa
malam aku pasti tak bisa bertahan hidup”.
Setiap malam aku bersyukur masih dapat tertawa. Apalagi jika sekelompok
pengamen kecil, penjual koran, penjual pala, berkumpul dan bermain
kejar-kejaran. Akhh… hidup benar-benar mengasyikkan. Aku berharap anak-anak
yang biasa melihatku dengan wajah aneh dari balik kaca mobil dapat merasakan
kebahagiaan seperti ini juga.
Apa kau tahu? Teriakan-teriakan kami pada malam hari terdengar lebih
merdu dari sekedar memelas karena kehabisan uang. Langkah kaki yang bermain
saat lampu hijau tiba, lebih seru daripada gelagat panik saat angkot mulai
melaju kencang dan masih ada penumpang yang mencari uang untuk diberikan.
Antara lompat turun atau ikut saja, itu adalah pilihan terberat. Nasib baik
jika melompat turun dan kaki tidak keseleo.
Lampu-lampu jalan masih tetap menyinari bahkan hingga jalanan menjadi
sepi. Beberapa kawan lain telah mundur dan sibuk mencari kardus kering. Selain
dari itu, satu dua orang sibuk menghitung jajanan kaki limanya. Dan yang tidak
terelakkan gertakan para pemabuk yang tidak pernah absen menebar aroma
alkoholnya.
Dikala dunia mulai menenang, jantungku bertahap mengencang. Aku meremas
kresek pundi uangku dan berlari ke bawah kolong jembatan gantung. Cepat
kumasukkan lima lembar uang dua ribu ke dalam kantong baju seragam putihku. Setelah
itu, aku langsung berdiam. Duduk di atas selebaran koran dan memakan nasi
bungkus bagianku. Kulihat anak-anak lain telah pulang lengkap dengan kricikan,
gitar, dan papan bekas. Sementara aku menyobek tempe dengan gigi taringku,
keempat anak lelaki di hadapanku sibuk memasukkan lembaran kertas ke dalam
celananya.
Di bawah remang lampu jalanan
kulihat dua pria berjaket jeans menghampiri, sama seperti malam-malam biasanya.
Aku pasrah dan menikmati satu malam ini lagi. Mereka menarik kerah bajuku
hingga aku terangkat menjauhi bungkusan nasi. Kudengar gemeretakan gigi dan
kutatap wajah beringas itu. Tanpa kata aku menyerahkan uang dari kantongku. Hal
itu tidak akan selesai sampai dua pria ini puas menggeledah kami hingga ke
bagian terdalamnya. Jika kosong maka siap saja pipi memerah. Pedisnya cabai
yang di makan bersama segenggam nasi, lebih
panas lagi bekas cap jari yang terlempar ke pipi.
"Jika saja malam tak pernah ada, mungkin ibu masih tetap ada. Jika saja malam tak pernah ada, aku hanya menikmati pagi dengan koran dan berlari ke sekolah. Jika saja malam tak pernah ada, aku mungkin tidak akan pernah melihat perbandingan hidup yang penuh keluh dan penuh syukur."