SYILA
Kerumunan orang telah berpencar. Ruangan
yang sempat kutinggalkan kini menyisahkan kekosongan. Aku kembali memutar
langkah. Berjalan masuk dan duduk di pertengahan ratusan deretan bangku. Keriuhan
luntur memulai sepi. Heningnya sekeliling tetap saja tidak membantu. Dia yang
harusnya dapat kutatap, menghilang begitu saja. Kali ini tetap saja tak nampak.
Kupastikan saat dia menyukaiku, Arya tak mungkin setidak perduli ini. Sungguh! Memiliki
rasa secara sepihak sebanding dengan lelahnya penantian dalam bungkam.
Faktanya, Arya tidak kembali
mencariku seperti yang kulakukan saat ini. Kutatap layar handphone
berkali-kali. Bukan melihat pesan yang masuk atau pemberitahuan media sosial
lainnya. Hanya satu yang kulakukan. Bercermin! Seolah menemukan harta terindah.
Aku tak ingin menyia-nyiakannya. Sejak tahun berapa aku lulus SMA? Ah, malas
menghitungnya. Hanya saja aku menyukainya hingga kini menginjak semester 6
perkuliahan. Sejujurnya itu terlalu lama. Cukup tragis jika menghitung cinta
terpendam pada waktu yang tak berujung. Si setia sibuk menanti. Si pejuang
masih bertahan. Si bodoh masih tetap memilihmu. Ketiga julukan itu cukup
melekat erat padaku.
Pada lubuk hati terdalam, kuterka
rasa ini akan terbalas. Aku duduk menunggu manakala Arya datang dan menanyakan
kabarku. Atau segenggam tangan hangat meremas jemariku. Lalu bangku di
sebelahku terisi dan menghabiskan waktu dengan menceritakan tahun-tahun
perpisahan yang tak pernah memberi kabar. Hingga pada akhirnya aku dan Arya
bercerita tentang kisah dua hati yang saling memperhatikan saat masih
berpakaiaan putih abu. Dengan penuh sukacita diakhiri pada pengakuan cinta.
Tiba-tiba saja sosok berjaket tebal
datang merampas handphone dari
genggamanku. Khayalan indah tadi seolah tidak disetujui dunia sampai merusaknya
dengan pembegalan ini. Aku berlari mengejar langkah panjang itu.
“Hei!!!” Seluruh dunia seolah tampak
menjauh dan hanya aku yang berlari mengejarnya. Tas kotak kecil mengayun
kencang di pinggangku. Tetapi tidak ada yang mengalahkan lajunya jantungku saat
ini.
Pria tinggi itu berlari ke toilet.
Aku terhenti, sambil mengumpat dalam hati. Sebenarnya aku berbangga pada kata sandi
yang kutanamkan pada handphoneku. Yang
harus kulakukan hanya menunggu. Sepertinya, memang aku ditakdirkan untuk
menunggu.
Sekitar sepuluh orang telah
melewatiku dalam setengah jam yang berlalu. Aku memberanikan diri masuk pada
tempat yang bukan kodratku. Ruangan asing itu kuputari dan melihat handphone yang tergeletak dalam tong
sampah. Tepat di atas sebuah topi. Apa yang lebih menjengkelkan dari hal itu!
Bahkan parahnya satu pintu WC tiba-tiba berbunyi dan seolah akan dibuka. Aku
cepat menunduk menyembunyikan wajahku karena tak bisa menghindar. Sepatu kets
abu melewatiku dan langsung berjalan keluar. Aku bernapas lega. Ketika kusadari
yang terjadi, rasanya seperti keadaan mendukungku untuk tidak menunggu sebuah
cinta yang tidak pernah terbalas. Terdengar kasihan, bukan?
Saat dimana aku mendengar orang mengatakan,
“Mereka adalah pasangan paling beruntung karena saling menemukan satu sama yang
lainnya” kini hanya sebuah khayalan yang hanya terus menjadi mimpi. Satu sisi aku
takut memikirkan bayangan kita yang pada akhirnya hanya berjalan di cerita
hidup yang berbeda. Namun disisi lain aku menanti saat dimana melihat wajah
Arya dan tidak ada kecanggungan lagi yang terjadi padaku. Lalu mengakhiri semua
kesakitan sebelah pihak ini.
ARYA
“Si pengecut ini apa yang lu lakuin!!!”
Aku membuang topi usai mengumpat pantulan sosok bodoh itu di depan cermin.
Apakah aku mengerti tentang sakit
hati, hingga berani membuatnya merasakan hal itu? Hari ini aku pikir akan
indah. Bertemu dengannya dalam sebuah acara. Sayang tidak seperti yang
kubayangkan. Dia telah berbeda dan aku tetap sama. Terakhir kali melihat
wajahnya pada kelulusan SMA. Sekarang tampakan culunnya telah berubah. Aku
pernah berpikir apakah dia berubah karena masih menyukaiku? Ia, Syila terlihat
dewasa dan cantik. Satu yang paling kukagumi adalah keberaniannya yang masih
melekat.
Aku duduk tiga baris di belakang
bangkunya pada saat acara malam itu berlangsung. Awalnya sempat berpikir.
Rambut hitam panjang di antara celah-celah orang duduk ini, apakah benar Syila?
Dia mungkin menyadari keberadaanku namun tidak juga berani memulai untuk
menyapa. Aku tahu sejak SMA, dia tidak seperti yang lain. Karena sebuah rasa,
kami terlibat kecanggungan. Dari pihakku yang seharusnya memulai malah berdiam
menunggunya berhenti. Berhenti menyimpan rasa untuk empat tahun. Sampai
sekarang aku masih berpura-pura tidak tahu tentang perasaannya. Tanpa
sepengetahuannya aku bahkan telah tahu ia sedang memendam rasa. Namun seolah
keraguan menyelimuti, aku tidak ingin mengatakan padanya perasaan yang sama.
Setelah beberapa tahun aku telah melihat ke sosok wanita lain untuk beberapa
kali dan dia mungkin tak pernah. Syila mungkin menyukaiku tetapi tak sebesar
yang kutahu.
Diakhir acara, dia berbalik. Bukan ke
arahku! Dia pergi ke sudut terbelakang gedung. Mungkin berkaca di toilet atau
membuang hasil kedinginan AC. Aku tak tahu. Yang kutahu wajah itu
mengingatkanku pada gadis SMA yang selalu kulihat setiap hari di sekolah.
Dilema besar mengusik jiwaku. Apakah
hari ini harus berakhir seperti ini? Pura-pura tak saling melihat keberadaan
lalu pulang dengan kesesakan. Haisss! Jarak karena sebuah rasa ini membuatku
bersifat cuek yang berlebihan.
Pada kerumunan orang yang
meninggalkan ruangan acara aku menatapnya dari sudut yang ia tak sadari. Syila
terlihat celingak-celinguk. Mungkin benar dia masih menungguku. Namun yang
terjadi aku masih saja tak ingin memulai. Padahal terlihat jelas rasa diantara
kita berdua. Hingga akhirnya aku menyesal sejadi-jadinya membiarkan dia pergi.
Aku bersandar di sudut terbelakang
ruangan. Tidak lama, wanita yang sejujurnya kunanti, berjalan masuk dan duduk
agak jauh di hadapanku. Jarak yang tercipta seolah membunuhku sebab tak mampu
berbuat apa-apa. Bahkan jika itu hanya menyapa. Namun, benar-benar menyenangkan
menatapnya merapikan rambut, alis, bibir, dan bulu matanya di depan layar handphone. Walaupun sangat mengganggu
melihat wajah pria di wallpapernya
dari kejauhan titik pandangku.
“Dasar
bodoh kenapa menungguku selama itu, aku gak akan datang juga”. Aku menggeleng
usai menyadari Syila yang belum juga beranjak dari tempat itu. Setengah jam
lagi menunjuk angka 11 dan ia masih bertahan. Mungkin ini yang disebut gengsi
pria. Aku heran membaca sebuah quote
yang menyebutkan,
“Ketika kamu berpikir lelaki itu tidak menyukaimu,
maka itu mungkin benar. Sebab seseorang yang benar-benar menyukaimu tentu akan
berusaha memberitahumu tentang perasaannya”. Ha! Omong kosong. Aku pastikan
beberapa pria dapat terdiam di tempatnya. Kaku, bahkan tak bisa bergerak ketika
berada di dekat wanita yang disukainya. Lelaki pun tahu apa itu salah tingkah.
Aku mendekat setelah menutupi
kemejaku yang mungkin sempat dilihatnya, dengan jaket hitam. Topi yang baru
saja kubeli sebelum tiba di acara launching
buku hari ini telah melekat di kepalaku. Dan… senyumnya! Langkahku hampir
terhenti di sisi kursi saat mulai mendekatinya. Hanya saja yang aku herankan, bisa-bisanya
wanita di hadapanku melamun di larut malam seperti ini? Beruntung hanya aku yang
berpura jadi perampok. Syila… benar-benar! Serasa aku ingin mengatakan padanya
berhenti menyukai dan menunggu pria sepertiku. Bersanding dengannya pun aku tak
pantas. Bahkan membalas perasaannya kurasa sebuah kesalahan. Mohon baliklah
keadaan. Akulah yang memiliki rasa sepihak. Bukan Syila.
***
Jika
ketahuan maka mungkin kali ini aku harus menembaknya. Beruntung aku
terselamatkan di ruangan yang tidak bisa dimasukinya walau seberani apapun
sosok Syila. Aku cepat menyalakan handphone
itu. Aku bahkan tidak memperdulikan harga topi yang kubuang setelah menyadari
Syila memakai kata sandi. Bukankah lucu mencuri handphone wanitamu hanya untuk melihat foto lelaki yang ia jadikan wallpaper? Apalagi jika kamu menyangka
ia telah berpaling ke pria lain. Tetapi ternyata yang kamu dapati, fotomulah
yang ia taruh di layar utama handphonenya?
Aku
bernapas lega. Membuang benda itu dan mengunci diri dalam satu ruangan toilet.
“Dasar
pencuri aneh!” aku mendengar suara Syila dan berpura mengancamnya dengan suara
pintu. Dan beruntung saja wanita yang benar-benar kusukai secara diam-diam itu
tahu cara menghindar tanpa berlari. Bukankah itu cara terbaru mengusir
seseorang yang berdiam di tempat yang tidak seharusnya?
Dunia
tahu betapa membingungkan kisah di antara kita. Akupun menyadarinya. Bahkan
yang lebih membingungkan aku tak bisa melepasnya.
#MyLoveStoryQuiz
Terinspirasi dari lagu Taylor Swift - The Story Of Us
I used to think one day we'd tell the story of
us
How we met and the sparks flew instantly
People would say "They're the lucky
ones"
I used to know my place was a spot next to you
Now I'm searching the room for an empty seat
'Cause lately I don't even know what page you're
on
.......
Now I'm standing alone in a crowded room and
we're not speaking
And I'm dying to know is it killing you like
it's killing me, yeah
I don't know what to say, since the twist of
fate when it all broke down
And the story of us looks a lot like a tragedy
now
#MyLoveStoryQuiz
#MyLoveStoryQuiz
3 komentar:
K E R E E E E E E E E N :*
Thank you for read ,dan :* :)
Posting Komentar