Pages

Selasa, 11 November 2014

Pengagum Bayang

Cerita mini ini sebenarnya pernah dikirim ke koran Fajar, pernah dapat telfon dari redaksi tentang rencana
pemuatan. Tapi sayangnya dokumentasi tidak saya dapatkan karena gak dapat korannya :) . Dimuat disini aja.. Happy reading 
 
 Mengagumi tidaklah menyesakkan, sebab yang kutahu ini indah. Seindah langit senja yang terus dipandanginya dari tepi pantai. Aku berdiri tak jauh di belakang, menatap bayang wanita pengagum senja ini tanpa lelah. Angin petang membawa rambut sebahunya melambai tak beraturan. Sebagai pria yang tak dikenal, aku leluasa memandanginya. Mengagumi bayang dengan mudah adalah caraku menikmati senja.
Setiap sore ia pasti akan datang. Dengan cara yang sama, berdiri tegak, mengangkat sedikit dagunya, dan menatap lurus ke surya yang akan tenggelam. Mungkin baginya kemerahan coklat di langit itu adalah permata terindah. Hinga pandangannya tidak pernah menengok ke kiri atau kanan. Ia hanya berteman dengan ombak pantai.
 Aku menatap dari kaca kafe tepat di seberang jalan. Setiap kemunculannya, cafe selalu kehilangan manajer. Sebab, aku pasti berlari mendekat. Walau tak sedekat dapat menjulurkan jemari.
Ketika laut menelan habis potongan matahari yang remang itu, selalu saja seorang pria datang menjemput. Dengan mobil putih ia membukakannya pintu. Entah telah terikat janji suci atau belum, yang jelas mereka terlihat begitu dekat. Hal itu pun yang membuat naluri keberanianku menurun. Bahkan untuk berkenalan sekalipun aku tidak pernah mencoba memulainya. Wanita berlesung pipi itu hanya dapat kupandangi saat mendekati senja. Setelah itu, malam dan prianya seolah melarangku untuk  menikmati paras ayu itu.
 Satu kali, aku dibuatnya cemas tak terkira. Malam hampir larut namun pria yang selalu menjemputnya belum juga nampak. Isi cafe semakin penuh dan aku sesekali berhenti di depan meja penikmat kopi memandangi kesendiriannya dari jauh.
“Apa dia masih menunggu?” Pria mobil putih itu membuatku geram. Lama, dan waktu terus berjalan, aku tak tahan lagi. Kulepas mampan yang kupegang sejak cafe ramai dan berjalan ke tepi pantai yang gelap. Tanpa berkata banyak kutarik ia hingga berbalik membelakangi angin pantai yang semakin dingin. Wanita ini tidak mengamuk. Tangannya kupegang semakin erat menjauhi pantai. Ini kali pertama bayangannya berjalan disebelahku. Biasanya hanya diam di hadapanku, sebatas kupandangi.
"Quila, maaf. Maaf! Kakak habis dapat kecelakaan di jalan, jadi terlambat ngejemput kamu..." Ucapan itu mengakhiri kisah indah yang baru saja kualami. Kulepas tangan wanita yang baru kutahu namanya itu di ujung jalan. Kakaknya melontarkan senyum sambil berterima kasih. Sementara Quila diam dengan senyum termanis walau sayang sedang melihat ke arah lain. Memandang kosong ke arah lain! Apakah dia ?
Pria itu menuntun Quila dengan hati-hati hingga menunjukkan arah mobil dengan jelas. Aku berdiri tak jauh dari mereka. Tiba-tiba jantungku berdetak dengan cepat seusai menyelami fakta yang kudapati. Akhirnya, kutahan kakaknya yang berjalan menuju kursi kemudi.
"Quila?" tanyaku gentar sambil menunjuk ragu ke mata. Kakaknya mengangguk dan berjalan pergi. Mobil beranjak, dan aku terdiam di bawah langit malam bersama bayanganku. Seolah jantungku hampir berhenti seusai mengetahui Quila tidak bisa melihat. Kutegaskan hatiku bahwa wanita yang mengalihkan seluruh duniaku itu tidak bisa melihat senja.
Sore yang sama, Quila kembali. Baju putih yang dikenakan membuatnya tidak kekurangan sesuatupun dari apa yang dimiliki seorang wanita. Aku mendekat. Mengucapkan kata yang membuatnya tersenyum.
“Terima kasih,” ucapnya lirih. Dalam gelap itu dia ternyata menyadari sosokku yang hadir setiap petang. Langit senja yang kupikir dinikmatinya, ternyata hanyalah kekosongan. Aku semakin mengaguminya ketika tahu ia tetap berdiri tegak dalam kekurangan. Tetap bercahaya dalam kegelapan. Tetap menawan dalam kesederhanaan. Kali ini aku tidak berdiri di belakang bayang wanita senja ini, sebab yang terjadi kami menikmati keindahaan ciptaan Tuhan itu bersama-sama. Bahkan seolah kukirimkan indah yang kutatap mataku ini menuju hatinya yang bersukacita walau tidak mampu lagi menatap dunia. Dia membuatku menjadi pengagum yang istimewa.