Pages

Kamis, 17 November 2016

Adakah Perbedaan yang Dapat Disamakan?


“It is not our differences that divide us. It is our inability to recognize, accept, and celebrate those differences.” - Audre Lorde

http://repressoclass.blogspot.co.id/
    Tentang waktu yang terus berputar, adakah hal yang tidak akan pernah berubah? Atau adakah sesuatu yang akan tetap sama walau berabad-abad telah sirna? Sejak awal semua memang diciptakan untuk melalui sebuah metamorfosa. Namun yang menjadi pertanyaan dapatkah setiap perbedaan yang lahir akan terus ditolerir oleh semua pihak? Apakah toleransi pada akhirnya akan berubah wujud pula? Apakah ini tentang masa yang terus berubah, atau zaman yang terus berganti, atau generasi yang lahir semakin berbeda dari sebelumnya? Di satu sisi ada yang mengatakan perbedaan itu hanya tinggal digandengkan, seperti air dan minyak walau tidak dapat disatukan tetapi dapat hidup berdampingan. Atau tentang bunga mawar, kembang sepatu, asoka, dan melati. Meskipun berkulit berbeda, namun diatur sangat indah untuk membuat taman semakin bermilai. Disisi lain ada yang berpikir perbedaan hanyalah bayangan yang hanya perlu dilewati untuk menembus suatu kenyataan bahwa kesamaan adalah yang terutama. Ada yang menegur karena seseorang melanggar batasan, lalu kemudian menilai dan menghakimi diluar dari batas eksistensinya.
“The parts of me that used to think I was different or smarter or whatever, almost made me die.” - David Foster Wallace
Jika sebuah nilai yang mencetak citra kesempurnaan mempengaruhi semua ini, dapatkah citra itu dihapuskan saja? Atau coba dikaburkan agar ketidaksempurnaan menjadi sesuatu hal yang membuat kepala tertunduk lagi dan mengatakan semua ini tentang kesalahan yang  patut untuk diperbaiki. Bukan untuk dimenangkan atau dibesar-besarkan agar sebuah konflik baru tentang ‘kebencian’ antar gelombang yang lebih besar terkuak lagi. Apakah perbedaan sebegitu sensitif untuk diperbincangkan sehingga kita harus diam saja dan menikmati jenuhnya keseragaman yang coba dibangun dalam kepalsuan. 
http://www.suarakita.org/
Kita sudah terbiasa hidup saling berdampingan. Melontarkan senyum, menghargai setiap kepercayaan yang hadir ditengah-tengah bangsa. Tidak ada yang terbersit untuk mencoba menjatuhkan ataupun menjelekkan. Kita berbagi dan bahkan bergaul dalam lingkungan yang berbeda-beda. Sampai kemudian sebuah isu negara merubah segalanya. Yang perlu dipertanyakan apakah ini akhir dari toleransi yang sudah terbangun? Atau malah ada bangunan toleransi baru yang coba dibangun untuk menyatakan kehidupan dalam keberagaman masih ada.
Kalau matahari dan bulan masih nampak sehat walau kehadirannya sangat berbeda, mengapa kita yang hidup perjengkal tampak sulit? Apakah ini hanya tentang doktrin penerimaan satu sama lainnya, atau lebih dari itu logika menjadi raja atas segala tindakan. Ada yang benar-benar mengerti sampai memilih diam. Ada pula yang sungguh memahami hingga mencoba meluruskan. Dan sayangnya ada yang tak paham lalu memprovokasi dengan cara yang dianggap benar untuk pembelaan.
Saat dunia sedang sibuk membelokkan rumus demi menemukan suatu keajaiban ilmiah baru, kita malah sibuk membelokkan isu demi pembelaan-pembelaan terhadap kebaikan yang dipaksa sama untuk semua orang. Entah untuk popularitas, kelarisan, pengalihan, atau mungkin sesuatu yang dianggap pembuktian. Dan ternyata pembuktian untuk suatu kebenaran hanya terjadi pada masa-masa tertentu. Padahal kehidupan itu berjalan perdetik.
Hal ini bukan tentang kepercayaan apa dan bagaimana ajarannya. Coba buka mata dan lihat apa yang terjadi. Antara kasih dan rasis. Antara kesalahan penggunaan bahasa dan penggunaan barang berbahaya. Antara kehancuran harga diri dan kehancuran diri. Perbedaan yang coba dibangun dari satu sudut pandang saja tidak akan menemui ujung. Segala persepsi yang muncul hanyalah sebatas persepsi dan ‘syukur-sukur’ jika tidak menimbulkan masalah baru.
 http://lama.elsam.or.id/
Adakah perbedaan yang dapat disamakan? Bahkan kesimpulan dalam diskusi kecil di kelas hanya dapat ditutup jika ada kelapangan dada untuk menerima ujungnya. Akhir dari semua, ternyata bukan perbedaan yang memisahkan. Bukan perbedaan yang membuat masalah. Hanya saja diri kita yang belum siap untuk hidup di antara perbedaan. Satu-satunya jalan hanyalah melapangkan dada. Satu-satunya yang perlu kita ketahui, ada satu kekuatan besar yang memiliki bumi, berkehendak atas dunia, dan memiliki semua yang ada dalamnya. Kehebatan yang kali ini mungkin terlupakan oleh karena hasrat untuk memenangkan sesuatu demi mendapat balasan setimpal untuk sesuatu yang dikatakan ‘pengorbanan’ dalam ukuran manusia.
“The highest result of education is tolerance” - Helen Keller
Kita semua bersaudara, bahkan tersenyum dan mengimani bahwa dunia indah dengan keberagaman  yang dihargai! Selamat Hari Toleransi! – 16 November 2016