Pages

Selasa, 03 Januari 2017

Jika Malam Tak Pernah Ada



Malam seperti biasa menyelimuti riuh isi kota. Awan gelap membungkus langit dengan tebal. Sudah berkali-kali ditusuk angin malam, tetapi rusukku masih terasa ngilu. Hanya saja, meringkuk di bawah selimut bukanlah takdirku. Apalagi menikmati secangkir teh hangat buatan ibu. Apakah mungkin keistimewaan itu akan terjadi di suatu hari nanti? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.


Seperti malam-malam kemarin, sisi jalan selalu saja ramai. Seolah tidak memberiku ruang untuk menjajakan suara dengan ukuleleku yang usang. Ada yang berdiri menjajakan makanan dan minuman. Sementara seorang bapak tua bertopi itu sudah bersiap mengojek payung. Pemuda di sebelahnya tiap malam bermain sambil menjual mainan plastik. Bahkan ada ibu-ibu yang memegang kemoceng dan siap menyapu-nyapu kaca depan mobil jika lampu merah muncul. Tidak ketinggalan sebangsaku memilih menjual tissue dan juga berkerja sepertiku.

Untung saja tubuh berukuran kecil membantuku melenggang ke celah manapun yang kumau. Apa peduli dengan rambutku yang berantakan ataupun debu kakiku yang mungkin menghinggap pada pakaian orang lain yang kulewati. Jejak-jejak debu itu toh akan tersapu dengan sendirinya. Jika mungkin melekat seperti di wajahku, hujan akan bekerja keras melunturkannya.


            Malam ini mendung. Bagaimanapun itu, aku tetap merindukan bintang, tempatku menggantungkan mimpi yang kurasa terlalu tinggi. Sesekali ia bersembunyi, kemudian muncul, dan menghilang. Bintang seperti itu. Aku memandang dan menginginkannya setiap malam namun tidak pernah bisa kupeluk.

“Bintang di langit, namanya bintang langit. Kalau jatuh ke laut ya bintang laut…” Genjrengan empat senar di antara jemariku setidaknya menggerakkan beberapa tangan menyimpan koin ke dalam kantung bekas permenku. Bahagia…Iya! Terlebih jika aku hinggap di salah satu angkot yang isinya penuh.  Penuh penumpang yang sangat sibuk dengan hanphonenya yang rerata berukuran besar. Penuh kantongan transparan yang bergambar donat. Penuh bungkusan yang beraroma sedap. Sesekali aku bertanya mengapa sang pencipta menciptakan malam yang sangat berbeda di antara para manusia. Tetapi naluriku pasti akan menjawab, “tanpa malam aku pasti tak bisa bertahan hidup”.

Setiap malam aku bersyukur masih dapat tertawa. Apalagi jika sekelompok pengamen kecil, penjual koran, penjual pala, berkumpul dan bermain kejar-kejaran. Akhh… hidup benar-benar mengasyikkan. Aku berharap anak-anak yang biasa melihatku dengan wajah aneh dari balik kaca mobil dapat merasakan kebahagiaan seperti ini juga.

Apa kau tahu? Teriakan-teriakan kami pada malam hari terdengar lebih merdu dari sekedar memelas karena kehabisan uang. Langkah kaki yang bermain saat lampu hijau tiba, lebih seru daripada gelagat panik saat angkot mulai melaju kencang dan masih ada penumpang yang mencari uang untuk diberikan. Antara lompat turun atau ikut saja, itu adalah pilihan terberat. Nasib baik jika melompat turun dan kaki tidak keseleo.


Lampu-lampu jalan masih tetap menyinari bahkan hingga jalanan menjadi sepi. Beberapa kawan lain telah mundur dan sibuk mencari kardus kering. Selain dari itu, satu dua orang sibuk menghitung jajanan kaki limanya. Dan yang tidak terelakkan gertakan para pemabuk yang tidak pernah absen menebar aroma alkoholnya.

Dikala dunia mulai menenang, jantungku bertahap mengencang. Aku meremas kresek pundi uangku dan berlari ke bawah kolong jembatan gantung. Cepat kumasukkan lima lembar uang dua ribu ke dalam kantong baju seragam putihku. Setelah itu, aku langsung berdiam. Duduk di atas selebaran koran dan memakan nasi bungkus bagianku. Kulihat anak-anak lain telah pulang lengkap dengan kricikan, gitar, dan papan bekas. Sementara aku menyobek tempe dengan gigi taringku, keempat anak lelaki di hadapanku sibuk memasukkan lembaran kertas ke dalam celananya.

 Di bawah remang lampu jalanan kulihat dua pria berjaket jeans menghampiri, sama seperti malam-malam biasanya. Aku pasrah dan menikmati satu malam ini lagi. Mereka menarik kerah bajuku hingga aku terangkat menjauhi bungkusan nasi. Kudengar gemeretakan gigi dan kutatap wajah beringas itu. Tanpa kata aku menyerahkan uang dari kantongku. Hal itu tidak akan selesai sampai dua pria ini puas menggeledah kami hingga ke bagian terdalamnya. Jika kosong maka siap saja pipi memerah. Pedisnya cabai yang di makan bersama segenggam nasi,  lebih panas lagi bekas cap jari yang terlempar ke pipi.



"Jika saja malam tak pernah ada, mungkin ibu masih tetap ada. Jika saja malam tak pernah ada, aku hanya menikmati pagi dengan koran dan berlari ke sekolah. Jika saja malam tak pernah ada, aku mungkin tidak akan pernah melihat perbandingan hidup yang penuh keluh dan penuh syukur."
                                                                                    *Salam Anak Jalanan

 sumber gambar : https://id.pinterest.com , ww.mingkem.com , http://hdwallpaperfx.com/ , http://www.pbase.com/