Pages

Kamis, 24 Desember 2015

Ini Kado Natalku

             
                Ini tahun ketiga aku berada disini. Akhirnya tiba juga bulan yang kunanti-nanti. Walau terasing dari hiruk-pikuk kota aku masih merasakan pujian-pujian hari natal masih menggema di telingaku. Tidak bisa kulihat, tetapi cahaya pohon natal di sudut ruangan seolah menembus kelopak mataku. Masih kurasakan kilauan itu. Tidak mampu kuhadiri perayaan natal seperti anak-anak sekolah minggu yang lain, tetapi hatiku tetap merasakan bagaimana limpahan sukacitanya. Ada satu yang paling penting. Tidak kudengar, tidak kulihat, dan tidak kurasakan kehadiran ayah di sampingku, tetapi bersyukur ia masih mengingatku. Walau sebenarnya aku tidak yakin, sebab sudah  dua tahun opa saja yang mengatakan kalimat berharga itu di telingaku.
                Di ruang perawatan anak sebuah rumah sakit di pusat kota, aku menceritakan ini semua. Tepat di malam natal saat mesin rumah sakit masih setia berada di hidungku, di mulutku, di dadaku, dimana lagi? Itu yang kusadari. Coba tanyakan opa lebih jelasnya, sebab ia yang terus menjagaku.
                Jika masih bersekolah aku pasti sudah di kelas 1 SMP. Natal yang kurindukan adalah kado. Kado dari Papa Yesus yang dititipkan ke Santa Claus dan disodorkan kepadaku. Hanya saja sejak terbaring bertahun-tahun santa claus tampak selalu datang dengan tangan kosong. Tahun lalu aku melihat ibu datang bersama malaikat hanya saja mulutku sudah tak mampu menceritakannya pada ayah.
                Kau ingin tahu apa saja permintaanku? Empat tahun lalu aku meminta ayah mengeluarkanku dari rumah sakit. Tahun kedua aku meminta ayah menghapus kanker darah yang aku rasakan. Tahun ketiga aku meminta ayah datang. Tahun ini… sebenarnya aku takut mengatakannya.
                Mulai dari awal Desember saat mataku masih sanggup terbuka aku mengisyaratkan opa untuk memutarkan musik natal dari handphonenya. Sampai di malam natal ini aku masih menikmatinya. Aku merasakan tangan opa membelai rambutku. Bercerita bak guru sekolah minggu yang menceritakan tentang bayi, kandang domba, gembala, bintang, Maria, Yusuf, dan segala macam halnya. Walau dalam kondisi koma, opa tetap memperlakukanku seperti cucunya yang sehat, baik, dan tak bercacat. Namun semakin berjalan cerita air mataku menetes. Kurasakan air itu membasahi kedua sudut mataku hingga berjalan sampai kelopak telingaku.
                “Adriel… kenapa menangis nak?” Kudengar opa tersentak disisi kananku. Aku hanya berbaring diam namun tak mampu menahan air mata. Aku hanya ingin keluarga disisiku di malam natal ini. Mengapa dokter dan suster yang lebih menyayangiku dibanding ayahku? Aku merindukan ayah.
                Kudengar suasana riuh di sekitarku. Kurasakan monitor berdetak bak alarm weker. Opa kudengar memanggil-manggil dokter dan suster. Jantungku yang kurasakan melemah sedang ditekan kuat dari atas dadaku. Seluruh badanku yang dulunya kesakitan kini telah mati rasa.
                “BVM, suntik…” dan apapun itu yang mereka teriakkan aku tak mengerti. Yang aku sadari sekarang apakah kado natal yang kuminta sedang terkabul?
                “Aku meminta Tuhan membawaku pergi, itu saja permintaanku di hari natal”
                ***
                Aku berdiri di sebelah ranjangku. Aku melihat dadaku masih ditekan-tekan oleh dokter, kemudian diberikan masker oksigen oleh suster. Opa kulihat sedang menangis di samping pohon natal. Aku keluar sebentar dan melihat suster sedang menelpon. Aku mendekat dan mendengar suara ayahku dari balik telepon. Aku berhenti setelah menyadari semuanya.
                “Selamat natal ayah, malaikat kecilmu sudah bahagia. Semua kado  natalku selama empat tahun di rumah sakit sudah terkabul. Hati-hati di jalan, semoga tiba disini dengan selamat. Bawa aku dengan aman dan tidurkan petiku di samping ibu. Aku menyayangimu, ayah.”